Rabu, Februari 04, 2009

Menjinakkan Stuppid Disease

Oleh: Edy Zaqeus*

(Sambungan Artikel Terbelenggu Stuppid Disease)


Penderita stuppid disease mudah disembuhkan, asal ia bisa terus-menerus diajak menggunakan kemampuan intelektualnya dan dibangunkan kesadarannya.


Tika yang semula terbelenggu oleh bayang-bayang kekasih gelapnya, sedikit demi sedikit berhasil melepaskan diri. Setelah sekian lama bergulat dengan pikiran dan pemahamannya sendiri, ia sampai pada kesimpulan bahwa dirinya harus bangkit dari keterpurukan. "Siapa lagi yang bisa menolong diriku jika bukan diriku sendiri?" gumannya pada diri sendiri.


Tika mencoba menerima kenyataan, bahwa dirinya telah mengandung dan ditinggalkan orang yang dicintainya. Ia memutuskan untuk membesarkan bayi yang dikandungnya, apa pun yang terjadi. Dendam negatif kepada orang yang menyakiti hatinya diubahnya menjadi semangat positif untuk mengubah nasib. Ia ingin membuktikan, bahwa dirinya mampu bertahan hidup dan meraih kembali masa depannya.


Sepercik kesadaran telah muncul dan ia berhasil mempertahankannya. Bersamaan dengan berlalunya waktu, orang-orang terdekatnya terus memberikan dukungan. Disadari atau tidak, dukungan itu telah mengarahkan dan membantu Tika untuk kembali pada kepribadiannya yang sejati.


Singkat cerita, bayi yang dikandung Tika lahir dengan selamat. Beberapa waktu kemudian ia berhasil mendapatkan pekerjaan baru di sebuah perusahaan. Ia bertekad untuk memulai kembali kehidupannya, dan menutup rapat-rapat masa lalunya. Sejak komitmen itu muncul, ia merasakan hari-harinya makin bersemangat. Tika berhasil menjinakkan penyakit gobloknya, dan kini meniti jalan hidupnya yang baru.


Nah, bagaimana Tika menjinakkan kebuntuan yang selama ini membelenggunya?


Kesadaran
Perlu diingat, seseorang bisa dikategorikan menderita penyakit goblok jika dirinya mulai sadar bahwa situasi yang membelenggunya saat itu harus segera dihentikan, dan pada tingkat tertentu ia telah berusaha keras mengatasi keadaannya. Selama seseorang masih bisa menikmati atau mentolerir penderitaan dan kerugian akibat keputusannya sendiri, dan ia tidak sungguh-sungguh bertindak supaya lepas dari situasi itu, ia bukan penderita penyakit goblok.


Seperti disinggung di artikel sebelumnya, penderita stuppid disease umumnya adalah mereka yang memiliki kecerdasan dan kesadaran yang lumayan. Nah, kecerdasan dan kesadaran itu mirip dengan zat antibodi dalam tubuh kita yang mampu menangkal penyakit atau menyembuhkan diri sendiri. Persoalannya tinggal bagaimana mengupayakan supaya kesadaran bisa terus terjaga, sampai yang bersangkutan bisa mengambil keputusan-keputusan yang tidak lagi merugikan dirinya sendiri.


Sesungguhnya, setiap penderita penyakit goblok perlu bantuan psikolog atau psikiater. Tetapi, bila itu tidak menjadi pilihan, sejumlah langkah konstruktif berikut bisa dipakai untuk menyembuhkan diri sendiri. Berikut ulasannya:


1. Teman Sharing
Setiap orang dalam kondisi normal pun membutuhkan teman, apalagi penderita penyakit goblok. Bedanya, teman biasa hanya menjadi tempat berkeluh kesah. Mereka hanya memberi nasihat normatif dan tidak ingin terlibat. Teman berbagi yang dibutuhkan penderita penyakit goblok harus bekerja lebih keras, kadang bahkan harus sedikit terlibat.


Biasanya penderita merasa mentok dan sulit mengambil keputusan . Nah, teman berbagi di sini tidak sekedar jadi "tong sampah", atau malah menyerahkan semua keputusan di tangan si penderita. Ia dituntut menjadi patner yang kritis, mengajak penderita melihat masalah secara objektif, mencari alternatif, dan membantunya mengambil keputusan dan tindakan terbaik.


Penderita penyakit goblok tidak selalu blank. Saat-saat tertentu, muncul kesadarannya untuk memandang masalah secara proporsional. Ia juga mampu menemukan alternatif dan mengenali mana yang menguntungkan serta mana yang merugikan. Kesadaran seperti inilah yang dibutuhkan. Di sini teman berbagi harus bisa mengondisikan supaya kesadaran itu menjadi kesadaran dominan.


Siapa yang bisa jadi teman berbagi? Teman dekat, pasangan, anggota keluarga, termasuk penasihat profesional.


2. Menuliskan Masalah
Dalam kondisi terbelenggu penyakit goblok, orang sulit berpikir jernih karena situasinya memang cenderung emosional. Cara kuno untuk mengurangi efek ini adalah dengan menuliskan masalahnya di selembar kertas. Semakin detail masalah faktor-faktor penyebabnya didefinisikan, maka semakin mudah pula pilihan solusinya ditemukan.


Sesungguhnya, menuliskan masalah, penyebab, dan solusinya (dari pilihan terburuk sampai yang terbaik) dalam selembar kertas itu tidak ditujukan untuk memaksa orang mencari solusi instan. Itu mustahil dalam kondisi terbelenggu oleh penyakit goblok. Tujuannya hanyalah melatih dan mendisiplinkan diri supaya berada pada jalur kesadaran kognitif. Kesadaran dan kejernihan berpikir perlu terus-menerus dirangsang kemunculannya, sehingga akhirnya bisa mengalahkan cara pandang yang terlalu emosional.


Satu metode yang ampuh untuk menggugah semangat adalah dengan lebih mengorientasikan diri pada masa depan. Menuliskan langkah-langkah untuk meraih tujuan dan mimpi-mimpi ke depan sangat sugestif sifatnya. Cara ini membuat kecerdasan dan kesadaran terangsang untuk bereaksi maksimal.


Kegiatan ini perlu terus dilakukan, baik setiap kali penderita merasa down maupun saat muncul semangat baru, sampai akhirnya tertulis komitmen-komitmen lebih tegas untuk lepas dari belenggu masalah. Komitmen inilah yang perlu didiskusikan dengan orang terdekat yang selama ini jadi teman berbagi.


3. Memperluas Konteks
Menderita penyakit goblok bisa berarti menghadapi masalah yang sama, orang yang sama, sebab yang sama, dan akibat-akibat yang relatif sama, secara berulang-ulang. Untuk lolos dari lingkaran setan ini, tak ada cara lain yang lebih ampuh selain mencoba berbagai hal yang serba baru; lingkungan baru, cara kerja baru, pekerjaan baru, mode rambut baru, cara berpakaian baru, cara berpikir baru, aktivitas baru, komitmen baru, kenalan-kenalan baru, hubungan baru, dll.


Lebih bagus lagi jika diri ini ditantang melakukan banyak hal yang selama ini ditakutkan (hal-hal positif tentunya). Tidak mudah memang, namun jika berhasil, perasaaan kemenangan yang luar biasa akan melingkupi kondisi psikologis kita.


Ini bukan berarti lari dari masalah. Namun ini ditujukan untuk memperluas konteks kita, melepaskan diri dari keterkungkungan psikologis dan fisik. Daripada masa lalu, hal baru lebih mudah membuka kesadaran kita.


4. Mengubur Masa Lalu
Ini hal paling sulit, namun jika tidak ingin terantuk-antuk terus oleh penyakit goblok, masa lalu harus dikubur. Sesungguhnya, kata yang lebih tepat adalah meletakkan masa lalu pada tempat yang semestinya. Artinya, tidak menjadikannya sebagai hantu yang setiap saat bisa memperlemah komitmen kita.


Penderita penyakit goblok biasanya lebih suka mengatakan; "Tidak mudah melupakan dia...", "Masalahnya tidak sesederhana yang kamu kira...", "Aku butuh waktu...", "Kamu tidak bisa merasakan sakitnya...," dll. Jika ingin benar-benar mengubur masa lalu, lebih baik ungkapkan komitmen seperti ini; "Aku akan mencoba!", "Tidak mudah, tapi aku akan berusaha!", "Aku berjanji pada diriku sendiri!" dll.


Memperluas konteks dan mengubur masa lalu menjadi satu paket resep penyembuhan penyakit goblok. Jangan ditawar-tawar lagi!


5. I Love My Self
Penderita penyakit goblok adalah orang yang paling sering mengabaikan diri sendiri. Mereka rela menderita demi sang penyebab penderitaannya itu. Mereka bahkan cenderung menyiksa dan menyakiti diri sendiri. Maka, jangan berharap orang seperti ini memiliki kepercayaan diri untuk bisa lepas dari sumber masalah. Ini jelas-jelas sangat tidak sehat.


Counter attack untuk kecenderungan ini adalah dengan mencoba lebih mencintai diri sendiri. Egois? Bukan! Dalam artian positif, itu berarti mencoba lebih mengutamakan kepentingan sendiri, tidak mau dirugikan orang lain, tidak mudah berkorban untuk hal yang tidak jelas manfaatnya, tidak mau dirugikan oleh pilihan-pilihan sendiri, dan melakukan tindakan-tindakan yang lebih memanjakan diri sendiri.


6. Langkah Konkrit
Hanya dengan memutuskan untuk lepas, tidak berarti seseorang telah lepas. Jadi, setelah cukup menuliskan berbagai komitmen dan rencana tindakan ke depan, penderita harus melakukan langkah-langkah konkrit untuk mewujudkannya. Ini merupakan proses atau fase transformasi diri yang harus terus dijaga keberlangsungannya.


Ingat, virus penyakit goblok bisa menyerang kembali. Manakala seseorang sedang labil, ia bisa mudah terjebak dalam kebodohan seperti sebelumnya. Jadi, proses transformasi diri ini harus dijaga dan dijalankan secara konsisten. Konsolidasi diri harus menyeluruh, kesadaran terus diperkuat sampai fase penyembuhan ini selesai, sampai akhirnya penderita menemukan dirinya yang baru dan terbebas dari penyakit ini.


Perlu diingat, virus stuppid disease tidak selalu berwujud masalah percintaan. Virus ini bisa tumbuh pada diri seseorang saat ia menghadapi kasus-kasus lain, seperti masalah pekerjaan, karir, obsesi atas hal tertentu, atau hubungan antar personal umumnya. Pendek kata, saat seseorang merasa tidak bisa memfungsikan kapasitas intelektualnya untuk mengambil pilihan-pilihan terbaik, ia perlu waspada, karena bisa jadi penyakit goblok sudah menjangkitinya.[ez]


* Edy Zaqeus adalah seorang trainer, editor, konsultan penulisan dan penerbitan, penulis beberapa buku bestseller, editor AndaLuarBiasa.com, pendiri BukuKenangan.com, dan bisa dijumpai di blog penulisannya di Ezonwriting.wordpress.com. Ia dapat dihubungi di email: edzaqeus[at]gmail[dot]com.


** Artikel ini pertama kali dimuat di Pembelajar.com tanggal 16 September 2004.

Sabtu, Januari 24, 2009

Terbelenggu Stuppid Disease

Di luar dugaan, kebanyakan orang-orang yang merasa dirinya pintar dan berpendidikan, ternyata justru paling sering menderita stuppid disease.

Tika adalah gadis single berusia 25 tahun, cantik, ramah, taat beribadah, dan terpelajar. Ia dikenal sebagai pribadi profesional, mandiri, dan cukup matang. Kariernya pun melejit bak meteor. Suatu saat hatinya terjerat oleh Andi, pria setengah baya yang telah beristri. Semula hanya sebuah persahabatan penuh simpati. Sampai akhirnya hubungan itu jatuh menjadi perselingkuhan.

Tika sadar, ia telah salah langkah. Kepada sahabat terdekat, ia mengaku merasa sangat berdosa. “Aku tahu ini salah. Tetapi, aku tak bisa mengingkari rasa cintaku,” keluhnya. Sahabatnya menasihati supaya Tika segera berhenti. Nuraninya pun sering mengetuk hatinya. Titik-titik kesadaran muncul, seolah menghardik Tika supaya segera keluar dari “kamar gelapnya”. Namun, Tika menepis kesadarannya sendiri. Dari kesadaran bahwa apa yang dilakukannya salah dan berdosa, kini menjadi kesadaran bahwa dirinya berhak mendapatkan cinta seutuhnya.

Singkat cerita, Tika hamil. Ketika ia meminta Andi menceraikan istrinya dan menikahinya, pria itu menolak. Konflik mengeras, keduanya saling menyalahkan dan mengambil jarak. Orang tua dan sahabat-sahabat terdekat Tika tak habis pikir dengan sikapnya. Ia tetap tak mau melepaskan Andi. Ia makin membenci Andi. Namun, setiap ingin menjauh, justru Tika merasa makin rindu. Ia masih sering bersusah-payah cari kabar tentang kekasih gelapnya itu. Padahal, setiap ingat Andi, hatinya serasa ditusuk-tusuk seribu jarum.

Begitulah, hari demi hari seiring dengan makin membesarnya bayi yang dikandung, Tika terjebak dalam kebuntuan. Otaknya yang encer terus memberitahunya bagaimana sebaiknya ia melangkah. Namun, ada bisikan hati yang terus menggelendot di pundaknya, bahwa ia harus mempertahankan cintanya. Tika sedang terbelenggu stuppid disease!

Penyakit Goblok
Apa itu stuppid disease alias penyakit goblok? Stuppid disease saya definisikan sebagai ketidakberdayaan intelektual dan emosional dalam merespon permasalahan dengan semestinya, sehingga seseorang cenderung gagal mengambil keputusan yang tepat, dan cenderung melakukan kesalahan yang sama berulang-ulang. Penyakit goblok juga didefinisikan sebagai suatu kondisi di mana rasionalitas maupun emosi sebegitu dominannya, sehingga pola respon terhadap masalah yang mengejawantah sering kurang efektif, bahkan kontraproduktif.

Nah, apa tanda-tanda yang bisa menunjukkan bahwa seseorang sedang menderita penyakit goblok? Berikut adalah indikasinya:

1. Sadar Bermasalah
Orang bisa menghadapi berbagai macam keterbatasan atau kesulitan, hanya karena ia tidak menyadari bahwa dirinya sedang terbelit oleh persoalan tertentu. Karena merasa tidak ada masalah, maka ia menganggap segalanya akan berlangsung beres-beres saja. Jadi, kesukaran timbul karena memang yang bersangkutan tidak ngeh bahwa memang sedang ada masalah.

Ini berbeda dengan orang yang kena penyakit goblok. Orang seperti ini biasanya cukup memiliki kesadaran bahwa ia memang sedang terbelit oleh sebuah masalah. Kadang masalahnya masih kabur, kadang sudah begitu jelas. Yang menarik, tak jarang terjadi bahwa orang ini ngeh ada masalah, namun secara sadar ia berusaha mengingkarinya. Dengan bersikap seperti itu, penderita penyakit goblok berharap masalah bisa hilang dengan sendirinya.

2. Masalahnya Jelas
Orang bijak bilang, “Jika Anda bisa mendefinisikan masalah itu, maka separuh jawabannya sudah tersedia.” Konon, demikianlah yang umumnya berlaku. Namun, berbeda sekali dengan situasi orang yang terjangkit penyakit goblok. Kata-kata bijak tersebut tidak serta merta berlaku. Orang-orang yang secara intelektual tidak diragukan kemampuannya ini, jelas tidaklah terlalu sulit memastikan apa masalah riil yang dihadapinya. Sungguh menarik bahwa ia bisa mendefinisikan masalahnya, mengetahui kira-kira apa faktor penyebabnya, bahkan kadang bisa memilah-milah faktor-faktor lain yang ikut memengaruhinya.

Secara pasti orang ini sadar dirinya bermasalah. Namun, yang terjangkit penyakit ini adalah orang yang cenderung mengingkari realitas. Ia lebih yakin dengan “keadaan yang seharusnya terjadi” menurut keinginannya. Maka, sekalipun dia mampu memerinci permasalahannya, separuh jawaban yang tersedia dalam setiap persoalan itu seolah raib. Ada hal-hal non-rasional yang mengaburkan mata intelektualitasnya, sehingga di matanya tak pernah ada solusi yang bisa membuatnya sreg.

3. Emosi Kuat
Ciri khas lainnya adalah keterlibatan unsur emosi yang sangat kuat dalam pola pandang. Sayangnya, emosi yang terlibat bukanlah jenis emosi yang bisa membantu melihat suatu persoalan dengan lebih bijak, matang, dan dewasa. Para ahli mengakui peran Emotional Quotient (EQ) atau kecerdasan emosi dalam mendorong kesuksesan seseorang. Dorongan-dorongan emosional secara positif bisa membentuk suatu kematangan emosi dan ketajaman naluri sehingga menghasilkan pilihan-pilihan yang kreatif, cerdas, inovatif, dan penuh vitalitas. Keberadaan EQ dalam hal ini melengkapi atau mengisi kekosongan di ruang-ruang kecerdasan intelektual (IQ). Namun, kuatnya unsur emosi dalam virus penyakit goblok mengakibatkan melemahnya kemampuan intelek si penderita, sehingga ia gagal berpikir secara jernih.

4. Jalan Buntu
Akibat hilangnya kemampuan memandang persoalan secara jernih dan bijaksana, maka tak heran jika penderita penyakit goblok sulit menemukan solusi yang tepat. Sesungguhnya, jika dipaksa menuliskan permasalahannya dan mereka-reka solusinya secara simulatif (di atas kertas), si penderita akan dengan mudah menunjukkan kadar kecerdasannya. Ia pun bisa mendapatkan saran-saran dari orang-orang terdekat —bahkan dari ahli-ahli yang berkompeten— yang secara objektif berpeluang membantunya mengatasi persoalan.

Namun, jika tiba waktunya untuk mengambil keputusan dan aksi konkret, mulailah ia melihat banyak kekurangan dari setiap solusi. Orang luar akan dengan mudah melihat bagaimana sosok yang pintar ini, mendadak berubah jadi orang yang takut mencoba, takut ambil risiko, atau takut menghadapi hal-hal baru. Ia menghadapi jalan buntu, bersifat pasif, tidak mau keluar dari daerah aman, atau memilih menanggung risiko seperti yang pernah dialami sebelumnya.

5. Rela Menderita
Satu akibat serius dari penderita penyakit goblok adalah kesediaannya untuk merasakan penderitaan atau tekanan-tekanan psikologis, sebagai konsekuensi dari sikapnya untuk pasif menunggu, tidak berani mengambil keputusan, atau menyerahkan persoalan pada sang waktu. Karena siksa psikologis tersebut terjadi karena hasil pilihan sikap secara sadar, sering penderita penyakit goblok bisa “menikmati” penderitaannya. Artinya, ia rela menderita dan menganggap kondisi itu sudah merupakan risiko pilihannya. Tak mengherankan, penderita penyakit goblok ini lumayan tahan banting.

Sekalipun ada pilihan penyelesaian masalah, saran-saran, atau usulan-usulan yang sangat baik, namun bila hal-hal tersebut belum bisa menyentuh kembali kesadarannya, penderita lebih suka menghindarinya. Orang seperti ini bisa terlihat sangat logis dan rasional dalam mempertahankan keyakinannya yang keliru. Dan ia benar-benar bisa memilih menderita daripada meninggalkan keyakinannya. Pihak luar sering tidak sabar dengan kenaifannya, dan sering mengganggapnya sebagai orang yang berlaku konyol atau bodoh.

6. Kebodohan Berulang
Indikasi paling jelas dari penderita penyakit goblok adalah kecenderungannnya melakukan kekeliruan yang sama berulang-ulang. Ia bisa jatuh sakit secara fisik, merasa sakit secara psikologis, penuh keraguan, kekhawatiran, ketakutan, dan bingung harus melakukan apa. Ketika terbit niatan menyelesaikan masalah, begitu mudahnya ia mentok. Begitu niatan sudah lebih sungguh-sungguh, anehnya ia menjadi rentan dan begitu mudah tertarik ke situasi kegamangan sebelumnya. Saat ia berani mengambil keputusan dan melakukan tindakan konkret, ia jadi mudah menyerah. Justru pada tahap seperti inilah akibat-akibat terparah dari penyakit goblok baru disadari. Ia selalu kembali ke titik nol dan merasa tak pernah berhasil mencapai kemajuan berarti.

7. Titik Kesadaran
Satu hal menarik yang bisa dilihat dari penderita penyakit goblok adalah adanya titik-titik kesadaran kecil dalam riak-riak permasalahannya. Orang lain bisa dengan mudah melihat orang ini punya kesadaran yang cukup untuk memahami persoalan lebih proporsional dan menerima realitas. Ini merupakan bekal vital bagi upaya penyelesaiannya. Hanya saja, titik-titik kesadaran kecil ini begitu rapuhnya, sehingga lebih sering tertelan oleh efek destruktif penyakit goblok yang makin akut. Jika penyakit ini menyerang dalam jangka waktu cukup lama, maka titik-titik kesadaran seperti ini akan timbul dan tenggelam.

Nah, bila si penderita sendiri atau orang-orang di sekitarnya yang bersimpati gagal menangkap sinyal ini, atau kemudian tidak menggunakannya sebagai titik awal upaya penyadaran secara menyeluruh, bisa dipastikan penderitanya akan jatuh dan jatuh lagi. Si penderita baru saja memasuki lingkaran setan yang tak bertepi.[ez] (Bersambung: Menjinakkan Stuppid Disease)

* Edy Zaqeus adalah seorang penulis buku bestseller, editor profesional, penerbit, trainer, dan konsultan penulisan/penerbitan dari Bornrich Consulting. Kunjungi website motivasinya: www.andaluarbiasa.com atau blognya: http://ezonwriting.wordpress.com.
** Artikel ini pertama kali diterbitkan pada 4 September 2004 di Pembelajar.com.