Rabu, Februari 04, 2009

Menjinakkan Stuppid Disease

Oleh: Edy Zaqeus*

(Sambungan Artikel Terbelenggu Stuppid Disease)


Penderita stuppid disease mudah disembuhkan, asal ia bisa terus-menerus diajak menggunakan kemampuan intelektualnya dan dibangunkan kesadarannya.


Tika yang semula terbelenggu oleh bayang-bayang kekasih gelapnya, sedikit demi sedikit berhasil melepaskan diri. Setelah sekian lama bergulat dengan pikiran dan pemahamannya sendiri, ia sampai pada kesimpulan bahwa dirinya harus bangkit dari keterpurukan. "Siapa lagi yang bisa menolong diriku jika bukan diriku sendiri?" gumannya pada diri sendiri.


Tika mencoba menerima kenyataan, bahwa dirinya telah mengandung dan ditinggalkan orang yang dicintainya. Ia memutuskan untuk membesarkan bayi yang dikandungnya, apa pun yang terjadi. Dendam negatif kepada orang yang menyakiti hatinya diubahnya menjadi semangat positif untuk mengubah nasib. Ia ingin membuktikan, bahwa dirinya mampu bertahan hidup dan meraih kembali masa depannya.


Sepercik kesadaran telah muncul dan ia berhasil mempertahankannya. Bersamaan dengan berlalunya waktu, orang-orang terdekatnya terus memberikan dukungan. Disadari atau tidak, dukungan itu telah mengarahkan dan membantu Tika untuk kembali pada kepribadiannya yang sejati.


Singkat cerita, bayi yang dikandung Tika lahir dengan selamat. Beberapa waktu kemudian ia berhasil mendapatkan pekerjaan baru di sebuah perusahaan. Ia bertekad untuk memulai kembali kehidupannya, dan menutup rapat-rapat masa lalunya. Sejak komitmen itu muncul, ia merasakan hari-harinya makin bersemangat. Tika berhasil menjinakkan penyakit gobloknya, dan kini meniti jalan hidupnya yang baru.


Nah, bagaimana Tika menjinakkan kebuntuan yang selama ini membelenggunya?


Kesadaran
Perlu diingat, seseorang bisa dikategorikan menderita penyakit goblok jika dirinya mulai sadar bahwa situasi yang membelenggunya saat itu harus segera dihentikan, dan pada tingkat tertentu ia telah berusaha keras mengatasi keadaannya. Selama seseorang masih bisa menikmati atau mentolerir penderitaan dan kerugian akibat keputusannya sendiri, dan ia tidak sungguh-sungguh bertindak supaya lepas dari situasi itu, ia bukan penderita penyakit goblok.


Seperti disinggung di artikel sebelumnya, penderita stuppid disease umumnya adalah mereka yang memiliki kecerdasan dan kesadaran yang lumayan. Nah, kecerdasan dan kesadaran itu mirip dengan zat antibodi dalam tubuh kita yang mampu menangkal penyakit atau menyembuhkan diri sendiri. Persoalannya tinggal bagaimana mengupayakan supaya kesadaran bisa terus terjaga, sampai yang bersangkutan bisa mengambil keputusan-keputusan yang tidak lagi merugikan dirinya sendiri.


Sesungguhnya, setiap penderita penyakit goblok perlu bantuan psikolog atau psikiater. Tetapi, bila itu tidak menjadi pilihan, sejumlah langkah konstruktif berikut bisa dipakai untuk menyembuhkan diri sendiri. Berikut ulasannya:


1. Teman Sharing
Setiap orang dalam kondisi normal pun membutuhkan teman, apalagi penderita penyakit goblok. Bedanya, teman biasa hanya menjadi tempat berkeluh kesah. Mereka hanya memberi nasihat normatif dan tidak ingin terlibat. Teman berbagi yang dibutuhkan penderita penyakit goblok harus bekerja lebih keras, kadang bahkan harus sedikit terlibat.


Biasanya penderita merasa mentok dan sulit mengambil keputusan . Nah, teman berbagi di sini tidak sekedar jadi "tong sampah", atau malah menyerahkan semua keputusan di tangan si penderita. Ia dituntut menjadi patner yang kritis, mengajak penderita melihat masalah secara objektif, mencari alternatif, dan membantunya mengambil keputusan dan tindakan terbaik.


Penderita penyakit goblok tidak selalu blank. Saat-saat tertentu, muncul kesadarannya untuk memandang masalah secara proporsional. Ia juga mampu menemukan alternatif dan mengenali mana yang menguntungkan serta mana yang merugikan. Kesadaran seperti inilah yang dibutuhkan. Di sini teman berbagi harus bisa mengondisikan supaya kesadaran itu menjadi kesadaran dominan.


Siapa yang bisa jadi teman berbagi? Teman dekat, pasangan, anggota keluarga, termasuk penasihat profesional.


2. Menuliskan Masalah
Dalam kondisi terbelenggu penyakit goblok, orang sulit berpikir jernih karena situasinya memang cenderung emosional. Cara kuno untuk mengurangi efek ini adalah dengan menuliskan masalahnya di selembar kertas. Semakin detail masalah faktor-faktor penyebabnya didefinisikan, maka semakin mudah pula pilihan solusinya ditemukan.


Sesungguhnya, menuliskan masalah, penyebab, dan solusinya (dari pilihan terburuk sampai yang terbaik) dalam selembar kertas itu tidak ditujukan untuk memaksa orang mencari solusi instan. Itu mustahil dalam kondisi terbelenggu oleh penyakit goblok. Tujuannya hanyalah melatih dan mendisiplinkan diri supaya berada pada jalur kesadaran kognitif. Kesadaran dan kejernihan berpikir perlu terus-menerus dirangsang kemunculannya, sehingga akhirnya bisa mengalahkan cara pandang yang terlalu emosional.


Satu metode yang ampuh untuk menggugah semangat adalah dengan lebih mengorientasikan diri pada masa depan. Menuliskan langkah-langkah untuk meraih tujuan dan mimpi-mimpi ke depan sangat sugestif sifatnya. Cara ini membuat kecerdasan dan kesadaran terangsang untuk bereaksi maksimal.


Kegiatan ini perlu terus dilakukan, baik setiap kali penderita merasa down maupun saat muncul semangat baru, sampai akhirnya tertulis komitmen-komitmen lebih tegas untuk lepas dari belenggu masalah. Komitmen inilah yang perlu didiskusikan dengan orang terdekat yang selama ini jadi teman berbagi.


3. Memperluas Konteks
Menderita penyakit goblok bisa berarti menghadapi masalah yang sama, orang yang sama, sebab yang sama, dan akibat-akibat yang relatif sama, secara berulang-ulang. Untuk lolos dari lingkaran setan ini, tak ada cara lain yang lebih ampuh selain mencoba berbagai hal yang serba baru; lingkungan baru, cara kerja baru, pekerjaan baru, mode rambut baru, cara berpakaian baru, cara berpikir baru, aktivitas baru, komitmen baru, kenalan-kenalan baru, hubungan baru, dll.


Lebih bagus lagi jika diri ini ditantang melakukan banyak hal yang selama ini ditakutkan (hal-hal positif tentunya). Tidak mudah memang, namun jika berhasil, perasaaan kemenangan yang luar biasa akan melingkupi kondisi psikologis kita.


Ini bukan berarti lari dari masalah. Namun ini ditujukan untuk memperluas konteks kita, melepaskan diri dari keterkungkungan psikologis dan fisik. Daripada masa lalu, hal baru lebih mudah membuka kesadaran kita.


4. Mengubur Masa Lalu
Ini hal paling sulit, namun jika tidak ingin terantuk-antuk terus oleh penyakit goblok, masa lalu harus dikubur. Sesungguhnya, kata yang lebih tepat adalah meletakkan masa lalu pada tempat yang semestinya. Artinya, tidak menjadikannya sebagai hantu yang setiap saat bisa memperlemah komitmen kita.


Penderita penyakit goblok biasanya lebih suka mengatakan; "Tidak mudah melupakan dia...", "Masalahnya tidak sesederhana yang kamu kira...", "Aku butuh waktu...", "Kamu tidak bisa merasakan sakitnya...," dll. Jika ingin benar-benar mengubur masa lalu, lebih baik ungkapkan komitmen seperti ini; "Aku akan mencoba!", "Tidak mudah, tapi aku akan berusaha!", "Aku berjanji pada diriku sendiri!" dll.


Memperluas konteks dan mengubur masa lalu menjadi satu paket resep penyembuhan penyakit goblok. Jangan ditawar-tawar lagi!


5. I Love My Self
Penderita penyakit goblok adalah orang yang paling sering mengabaikan diri sendiri. Mereka rela menderita demi sang penyebab penderitaannya itu. Mereka bahkan cenderung menyiksa dan menyakiti diri sendiri. Maka, jangan berharap orang seperti ini memiliki kepercayaan diri untuk bisa lepas dari sumber masalah. Ini jelas-jelas sangat tidak sehat.


Counter attack untuk kecenderungan ini adalah dengan mencoba lebih mencintai diri sendiri. Egois? Bukan! Dalam artian positif, itu berarti mencoba lebih mengutamakan kepentingan sendiri, tidak mau dirugikan orang lain, tidak mudah berkorban untuk hal yang tidak jelas manfaatnya, tidak mau dirugikan oleh pilihan-pilihan sendiri, dan melakukan tindakan-tindakan yang lebih memanjakan diri sendiri.


6. Langkah Konkrit
Hanya dengan memutuskan untuk lepas, tidak berarti seseorang telah lepas. Jadi, setelah cukup menuliskan berbagai komitmen dan rencana tindakan ke depan, penderita harus melakukan langkah-langkah konkrit untuk mewujudkannya. Ini merupakan proses atau fase transformasi diri yang harus terus dijaga keberlangsungannya.


Ingat, virus penyakit goblok bisa menyerang kembali. Manakala seseorang sedang labil, ia bisa mudah terjebak dalam kebodohan seperti sebelumnya. Jadi, proses transformasi diri ini harus dijaga dan dijalankan secara konsisten. Konsolidasi diri harus menyeluruh, kesadaran terus diperkuat sampai fase penyembuhan ini selesai, sampai akhirnya penderita menemukan dirinya yang baru dan terbebas dari penyakit ini.


Perlu diingat, virus stuppid disease tidak selalu berwujud masalah percintaan. Virus ini bisa tumbuh pada diri seseorang saat ia menghadapi kasus-kasus lain, seperti masalah pekerjaan, karir, obsesi atas hal tertentu, atau hubungan antar personal umumnya. Pendek kata, saat seseorang merasa tidak bisa memfungsikan kapasitas intelektualnya untuk mengambil pilihan-pilihan terbaik, ia perlu waspada, karena bisa jadi penyakit goblok sudah menjangkitinya.[ez]


* Edy Zaqeus adalah seorang trainer, editor, konsultan penulisan dan penerbitan, penulis beberapa buku bestseller, editor AndaLuarBiasa.com, pendiri BukuKenangan.com, dan bisa dijumpai di blog penulisannya di Ezonwriting.wordpress.com. Ia dapat dihubungi di email: edzaqeus[at]gmail[dot]com.


** Artikel ini pertama kali dimuat di Pembelajar.com tanggal 16 September 2004.

Sabtu, Januari 24, 2009

Terbelenggu Stuppid Disease

Di luar dugaan, kebanyakan orang-orang yang merasa dirinya pintar dan berpendidikan, ternyata justru paling sering menderita stuppid disease.

Tika adalah gadis single berusia 25 tahun, cantik, ramah, taat beribadah, dan terpelajar. Ia dikenal sebagai pribadi profesional, mandiri, dan cukup matang. Kariernya pun melejit bak meteor. Suatu saat hatinya terjerat oleh Andi, pria setengah baya yang telah beristri. Semula hanya sebuah persahabatan penuh simpati. Sampai akhirnya hubungan itu jatuh menjadi perselingkuhan.

Tika sadar, ia telah salah langkah. Kepada sahabat terdekat, ia mengaku merasa sangat berdosa. “Aku tahu ini salah. Tetapi, aku tak bisa mengingkari rasa cintaku,” keluhnya. Sahabatnya menasihati supaya Tika segera berhenti. Nuraninya pun sering mengetuk hatinya. Titik-titik kesadaran muncul, seolah menghardik Tika supaya segera keluar dari “kamar gelapnya”. Namun, Tika menepis kesadarannya sendiri. Dari kesadaran bahwa apa yang dilakukannya salah dan berdosa, kini menjadi kesadaran bahwa dirinya berhak mendapatkan cinta seutuhnya.

Singkat cerita, Tika hamil. Ketika ia meminta Andi menceraikan istrinya dan menikahinya, pria itu menolak. Konflik mengeras, keduanya saling menyalahkan dan mengambil jarak. Orang tua dan sahabat-sahabat terdekat Tika tak habis pikir dengan sikapnya. Ia tetap tak mau melepaskan Andi. Ia makin membenci Andi. Namun, setiap ingin menjauh, justru Tika merasa makin rindu. Ia masih sering bersusah-payah cari kabar tentang kekasih gelapnya itu. Padahal, setiap ingat Andi, hatinya serasa ditusuk-tusuk seribu jarum.

Begitulah, hari demi hari seiring dengan makin membesarnya bayi yang dikandung, Tika terjebak dalam kebuntuan. Otaknya yang encer terus memberitahunya bagaimana sebaiknya ia melangkah. Namun, ada bisikan hati yang terus menggelendot di pundaknya, bahwa ia harus mempertahankan cintanya. Tika sedang terbelenggu stuppid disease!

Penyakit Goblok
Apa itu stuppid disease alias penyakit goblok? Stuppid disease saya definisikan sebagai ketidakberdayaan intelektual dan emosional dalam merespon permasalahan dengan semestinya, sehingga seseorang cenderung gagal mengambil keputusan yang tepat, dan cenderung melakukan kesalahan yang sama berulang-ulang. Penyakit goblok juga didefinisikan sebagai suatu kondisi di mana rasionalitas maupun emosi sebegitu dominannya, sehingga pola respon terhadap masalah yang mengejawantah sering kurang efektif, bahkan kontraproduktif.

Nah, apa tanda-tanda yang bisa menunjukkan bahwa seseorang sedang menderita penyakit goblok? Berikut adalah indikasinya:

1. Sadar Bermasalah
Orang bisa menghadapi berbagai macam keterbatasan atau kesulitan, hanya karena ia tidak menyadari bahwa dirinya sedang terbelit oleh persoalan tertentu. Karena merasa tidak ada masalah, maka ia menganggap segalanya akan berlangsung beres-beres saja. Jadi, kesukaran timbul karena memang yang bersangkutan tidak ngeh bahwa memang sedang ada masalah.

Ini berbeda dengan orang yang kena penyakit goblok. Orang seperti ini biasanya cukup memiliki kesadaran bahwa ia memang sedang terbelit oleh sebuah masalah. Kadang masalahnya masih kabur, kadang sudah begitu jelas. Yang menarik, tak jarang terjadi bahwa orang ini ngeh ada masalah, namun secara sadar ia berusaha mengingkarinya. Dengan bersikap seperti itu, penderita penyakit goblok berharap masalah bisa hilang dengan sendirinya.

2. Masalahnya Jelas
Orang bijak bilang, “Jika Anda bisa mendefinisikan masalah itu, maka separuh jawabannya sudah tersedia.” Konon, demikianlah yang umumnya berlaku. Namun, berbeda sekali dengan situasi orang yang terjangkit penyakit goblok. Kata-kata bijak tersebut tidak serta merta berlaku. Orang-orang yang secara intelektual tidak diragukan kemampuannya ini, jelas tidaklah terlalu sulit memastikan apa masalah riil yang dihadapinya. Sungguh menarik bahwa ia bisa mendefinisikan masalahnya, mengetahui kira-kira apa faktor penyebabnya, bahkan kadang bisa memilah-milah faktor-faktor lain yang ikut memengaruhinya.

Secara pasti orang ini sadar dirinya bermasalah. Namun, yang terjangkit penyakit ini adalah orang yang cenderung mengingkari realitas. Ia lebih yakin dengan “keadaan yang seharusnya terjadi” menurut keinginannya. Maka, sekalipun dia mampu memerinci permasalahannya, separuh jawaban yang tersedia dalam setiap persoalan itu seolah raib. Ada hal-hal non-rasional yang mengaburkan mata intelektualitasnya, sehingga di matanya tak pernah ada solusi yang bisa membuatnya sreg.

3. Emosi Kuat
Ciri khas lainnya adalah keterlibatan unsur emosi yang sangat kuat dalam pola pandang. Sayangnya, emosi yang terlibat bukanlah jenis emosi yang bisa membantu melihat suatu persoalan dengan lebih bijak, matang, dan dewasa. Para ahli mengakui peran Emotional Quotient (EQ) atau kecerdasan emosi dalam mendorong kesuksesan seseorang. Dorongan-dorongan emosional secara positif bisa membentuk suatu kematangan emosi dan ketajaman naluri sehingga menghasilkan pilihan-pilihan yang kreatif, cerdas, inovatif, dan penuh vitalitas. Keberadaan EQ dalam hal ini melengkapi atau mengisi kekosongan di ruang-ruang kecerdasan intelektual (IQ). Namun, kuatnya unsur emosi dalam virus penyakit goblok mengakibatkan melemahnya kemampuan intelek si penderita, sehingga ia gagal berpikir secara jernih.

4. Jalan Buntu
Akibat hilangnya kemampuan memandang persoalan secara jernih dan bijaksana, maka tak heran jika penderita penyakit goblok sulit menemukan solusi yang tepat. Sesungguhnya, jika dipaksa menuliskan permasalahannya dan mereka-reka solusinya secara simulatif (di atas kertas), si penderita akan dengan mudah menunjukkan kadar kecerdasannya. Ia pun bisa mendapatkan saran-saran dari orang-orang terdekat —bahkan dari ahli-ahli yang berkompeten— yang secara objektif berpeluang membantunya mengatasi persoalan.

Namun, jika tiba waktunya untuk mengambil keputusan dan aksi konkret, mulailah ia melihat banyak kekurangan dari setiap solusi. Orang luar akan dengan mudah melihat bagaimana sosok yang pintar ini, mendadak berubah jadi orang yang takut mencoba, takut ambil risiko, atau takut menghadapi hal-hal baru. Ia menghadapi jalan buntu, bersifat pasif, tidak mau keluar dari daerah aman, atau memilih menanggung risiko seperti yang pernah dialami sebelumnya.

5. Rela Menderita
Satu akibat serius dari penderita penyakit goblok adalah kesediaannya untuk merasakan penderitaan atau tekanan-tekanan psikologis, sebagai konsekuensi dari sikapnya untuk pasif menunggu, tidak berani mengambil keputusan, atau menyerahkan persoalan pada sang waktu. Karena siksa psikologis tersebut terjadi karena hasil pilihan sikap secara sadar, sering penderita penyakit goblok bisa “menikmati” penderitaannya. Artinya, ia rela menderita dan menganggap kondisi itu sudah merupakan risiko pilihannya. Tak mengherankan, penderita penyakit goblok ini lumayan tahan banting.

Sekalipun ada pilihan penyelesaian masalah, saran-saran, atau usulan-usulan yang sangat baik, namun bila hal-hal tersebut belum bisa menyentuh kembali kesadarannya, penderita lebih suka menghindarinya. Orang seperti ini bisa terlihat sangat logis dan rasional dalam mempertahankan keyakinannya yang keliru. Dan ia benar-benar bisa memilih menderita daripada meninggalkan keyakinannya. Pihak luar sering tidak sabar dengan kenaifannya, dan sering mengganggapnya sebagai orang yang berlaku konyol atau bodoh.

6. Kebodohan Berulang
Indikasi paling jelas dari penderita penyakit goblok adalah kecenderungannnya melakukan kekeliruan yang sama berulang-ulang. Ia bisa jatuh sakit secara fisik, merasa sakit secara psikologis, penuh keraguan, kekhawatiran, ketakutan, dan bingung harus melakukan apa. Ketika terbit niatan menyelesaikan masalah, begitu mudahnya ia mentok. Begitu niatan sudah lebih sungguh-sungguh, anehnya ia menjadi rentan dan begitu mudah tertarik ke situasi kegamangan sebelumnya. Saat ia berani mengambil keputusan dan melakukan tindakan konkret, ia jadi mudah menyerah. Justru pada tahap seperti inilah akibat-akibat terparah dari penyakit goblok baru disadari. Ia selalu kembali ke titik nol dan merasa tak pernah berhasil mencapai kemajuan berarti.

7. Titik Kesadaran
Satu hal menarik yang bisa dilihat dari penderita penyakit goblok adalah adanya titik-titik kesadaran kecil dalam riak-riak permasalahannya. Orang lain bisa dengan mudah melihat orang ini punya kesadaran yang cukup untuk memahami persoalan lebih proporsional dan menerima realitas. Ini merupakan bekal vital bagi upaya penyelesaiannya. Hanya saja, titik-titik kesadaran kecil ini begitu rapuhnya, sehingga lebih sering tertelan oleh efek destruktif penyakit goblok yang makin akut. Jika penyakit ini menyerang dalam jangka waktu cukup lama, maka titik-titik kesadaran seperti ini akan timbul dan tenggelam.

Nah, bila si penderita sendiri atau orang-orang di sekitarnya yang bersimpati gagal menangkap sinyal ini, atau kemudian tidak menggunakannya sebagai titik awal upaya penyadaran secara menyeluruh, bisa dipastikan penderitanya akan jatuh dan jatuh lagi. Si penderita baru saja memasuki lingkaran setan yang tak bertepi.[ez] (Bersambung: Menjinakkan Stuppid Disease)

* Edy Zaqeus adalah seorang penulis buku bestseller, editor profesional, penerbit, trainer, dan konsultan penulisan/penerbitan dari Bornrich Consulting. Kunjungi website motivasinya: www.andaluarbiasa.com atau blognya: http://ezonwriting.wordpress.com.
** Artikel ini pertama kali diterbitkan pada 4 September 2004 di Pembelajar.com.

Senin, Desember 29, 2008

Kekuatan Komunikasi dengan Personal Magnetism

Oleh: Edy Zaqeus*

Anda pasti sering melihat seorang wanita berwajah cantik atau pria tampan yang menyedot perhatian orang di sekelilingnya. Anda pun barangkali pernah menyaksikan seorang wanita atau pria berumur, yang karena sesuatu hal, tak kalah menariknya dibanding mereka yang muda. Wanita cantik atau pria tampan menyedot perhatian karena daya tarik fisiknya (physical attractiveness). Sementara wanita dan pria berumur tadi bisa menyedot perhatian karena kematangan atau daya magnet kepribadiannya (magnetive attractiveness).

Apa yang membedakan di antara kedua kelompok tersebut? Jelas, daya tarik fisik adalah anugerah alam, dan tidak semua orang memilikinya. Sedang daya tarik personal adalah sebuah ketrampilan yang bisa dipelajari siapapun, tidak memandang usia, warna kulit, ras, apalagi agama.

Nah, jika seseorang ingin meningkatkan daya tarik fisiknya, biasanya cara-cara yang ditempuh adalah dengan memoles habis wajahnya dengan kosmetik, atau bahkan operasi plastik seperti Michael Jackson. Sementara orang yang ingin meningkatkan daya tarik pribadinya cukuplah dengan mengasah ketrampilan untuk bersikap dan berperilaku yang memikat. Cara yang pertama biasanya berat di ongkos atau sering mengandung risiko, sedang cara kedua butuh kesabaran, ketekunan berlatih, namun sangat irit di ongkos.

Beda lainnya, daya tarik fisik akan merosot jika kepribadian tidak mendukung, dan biasanya sangat memusuhi berlalunya waktu. Dengan kata lain, makin bertambah usia seseorang, makin menurun daya tarik fisiknya bagi orang lain yang menilai orang itu berdasarkan parameter fisik. Sebaliknya, magnet kepribadian justru makin kuat, seiring dengan kematangan, pengalaman dan bertambahnya usia seseorang. Inilah keunggulan personal magnetism.

Bahasa Mata
Personal magnetism adalah pemancaran cahaya kepribadian dari dalam (inner glow) menjadi cahaya kepribadian keluar (outer glow), yang menimbulkan pengaruh atau daya tarik terhadap orang lain. Unsur utama personal magnetism adalah bahasa mata, cahaya kepribadian, dan komunikasi bawah sadar. Ketiga unsur tersebut bisa dipelajari, dilatih, dan dikuasai, hingga akhirnya bisa menjadi bagian tak terpisahkan dari cara Anda berkomunikasi di setiap kesempatan.

Bahasa mata adalah unsur utama dalam personal magnetism. Karena mata adalah sarana yang paling efektif untuk mengkomunikasikan daya tarik atau cahaya kepribadian Anda. Mata adalah jendela pikiran dan suasana hati Anda. Dalam komunikasi dengan bahasa mata, Anda harus melihat mata lawan bicara secara langsung dan mendalam. Ingat, melihat secara langsung dan mendalam, namun ringan. Jangan melotot, membelalak, memandang dengan tajam, atau menyipitkan mata. Kuncinya adalah, lihatlah mata lawan bicara secara langsung sambil merasakan suatu “perasaan yang mendalam”.

Jangan berbicara seolah-olah Anda sedang berbicara di hadapan sekelompok orang, sekalipun Anda memang sedang berpidato di hadapan mereka. Berbicaralah secara langsung sambil merasakan bahwa Anda sedang berbicara kepada masing-masing pribadi, bukan sekelompok orang.

Cara ini akan sangat kuat dalam menyampaikan pesan-pesan maupun mempengaruhi persepsi audience. Mereka akan merasa bahwa pesan-pesan itu sungguh-sungguh disampaikan untuk diri mereka.

Pesan Mental
Sesungguhnya, bahasa mata itu mengandung sifat fisik maupun mental. Keduanya bisa sangat mempengaruhi emosi seseorang. Anda bisa mentransfer perasaan atau pesan-pesan mental melalui bahasa mata. Anda akan mudah mengenali pesan-pesan mental itu bila berada dalam situasi komunikasi yang penuh emosi (perasaan). Mungkin Anda pernah melihat bagaimana mulut seseorang terkunci rapat, namun Anda rasakan tatapan matanya seolah ingin menyampaikan sesuatu yang begitu berarti. Anda pun bisa merasakan dan mengerti makna pesan yang disampaikannya itu.

Coba ingat pesan-pesan mental yang pernah Anda terima; misalnya tatapan seseorang yang seolah ingin mengatakan, “Aku tidak ingin berpisah”, “Aku berkata sejujurnya”, “Aku sungguh-sungguh mencintaimu”, “Maafkan aku”, dll. Biasanya, pesan-pesan mental melalui mata akan jauh lebih tertanam dan tak mudah hilang dari ingatan. Inilah kekuatan utama berkomunikasi dengan personal magnetism. Menyampaikan pesan mental melalui mata tidak selalu dalam bentuk kalimat-kalimat yang dibatin. Cara lain untuk memperkuat pancaran cahaya kepribadian adalah dengan tersenyum melalui mata!

Sepertinya mengada-ada? Sama sekali bukan. Sesungguhnya Anda sudah merasakan rasa lucu, rasa tulus, rasa iba, dan rasa-rasa yang lainnya jauh sebelum mimik muka Anda mengekspresikannya. Inilah prinsip yang digunakan, Anda hanya perlu merasakan ‘tersenyum’ dan mengalirkan perasaan itu melalui mata. Anda rasakan perasaan tersenyum, tapi jangan berpikir atau memaksakan pikiran untuk tersenyum. Rasakan senyum secara alamiah dari dalam batin.

Nah, biasanya lawan bicara tidak melihat senyum Anda dari lekukan pipi. Namun Anda akan rasakan dari pancaran matanya, bahwa mereka seperti merasa nyaman dan senang bertemu muka dengan Anda. Pada saatnya sesungging senyum menampak di muka Anda, maka senyum yang benar-benar dirasakan tadi akan terwujud sebagai senyum yang alamiah, tidak dipaksakan, hangat, dan tulus. Senyum semacam ini memperkuat pancaran pesona kepribadian Anda dan menunjukkan bagaimana karakter Anda.

Kekuatan Suara
Anda pasti pernah mendapati bagaimana seseorang yang begitu menguasai bahan pembicaraan, berpengetahuan luas, kaya pengalaman, dan lincah dalam berwicara, namun pesan-pesan yang disampaikannya terasa kurang “berisi”. Sekalipun seseorang tadi terus-menerus membeberkan kepandaian dan wawasannya, namun tetap saja, “ceramahnya” kurang membekas. Tidak ada yang nyantol. Malahan terasa kurang pas dengan situasi psikologis audiensnya. Aneh bukan?

Personal magnetism menekankan pentingnya memberi kekuatan magnetis pada suara. Hal mendasar di sini adalah proyeksi suara, yaitu bagaimana Anda memancarkan pesan mental dan bagaimana cara Anda mengucapkan pesan. Kata yang keluar dari mulut Anda adalah aspek fisik. Namun bagaimana cara Anda mengontrol proyeksi suara adalah aspek non-fisik (mental).

Menyampaikan pesan dengan kalimat-kalimat yang logis, teratur susunannya, disertai pengaturan intonasi yang pas, memang sangat penting. Namun, menyampaikan pesan terucap secara teratur, lalu membarenginya dengan proyeksi mental melalui pancaran mata, akan memperkuat daya magnet kepribadian Anda.

Satu teknik dalam public speaking adalah memulai pidato dengan cara mengarahkan pikiran, perasaan, pandangan, dan suara pada pribadi audiens terjauh dari posisi Anda. Berikutnya, proyeksikan suara pada kerongkongan, mulut, dahi, sisi belakang gigi depan, dan tentu saja proyeksikan suara melalui pandangan mata.

Bagaimana proses pemancaran pesan mental seperti ini dijalankan? Tidak sulit. Anda hanya perlu berpikir dan merasakannya bahwa proyeksi itu memang sedang mengalir dan tersalur melalui mata Anda. Bagi audiens, pidato Anda akan menjangkau perasaan keluasan dan kedalaman, serta dipersepsi bahwa hal itu memang ditujukan bagi mereka pribadi per pribadi.

Cahaya Kepribadian
Anda tidak bisa memancarkan cahaya kepribadian dan menarik perhatian orang lain, jika Anda memang tidak memilikinya. Untuk memilikinya, Anda bisa melatih diri dengan mengembangkan sifat-sifat tertentu. Cahaya kepribadian dibangun dari kebiasaan-kebiasaan, cara berpikir, serta bagaimana mengelola emosi secara positif, yang pada akhirnya akan otomatis memancar manakala Anda berinteraksi. Magnet kepribadian ini bisa dipancarkan dengan sifat pembawaan diri yang antusias, ramah, tulus, hangat, tanggap, percaya diri, serta perasaan yang mendalam saat berkomunikasi.

Tidak ada cara lain untuk mengembangkan cahaya kepribadian selain melatih diri dan membiasakan munculnya sifat-sifat tadi. Jika Anda ingin tampil anstusias dan bergairah, jangan bersikap lesu dan malas dalam berkomunikasi maupun berperilaku. Kegairahan itu memancar dan menular. Jika itu muncul secara wajar dan alamiah, hasilnya adalah reaksi yang positif.

Jika ingin ramah, bersikaplah benar-benar hangat dan terbuka kepada setiap orang. Begitu mudahnya orang lain mengenali apakah Anda cenderung terbuka atau menutup diri terhadap pribadi yang mendekati Anda. Jika ingin tulus, hindarkan diri dari pamrih-pamrih tersembunyi. Hangat dan tanggap bisa ditumbuhkan dengan perhatian sepenuhnya kepada lawan bicara, dan siap memberikan respon yang diperlukan sesuai konteksnya.

Jika ingin tampil percaya diri, milikilah perasaan bahwa hakikatnya setiap orang mempunyai kesetaraan dan persamaan hak dalam berbagai hal, dan Anda pun berhak untuk mendapatkannya. Miliki keyakinan, bahwa Anda akan mendapatkan apa yang Anda inginkan. Jika menginginkan hubungan sosial atau relasional yang mendalam, jangan tanggung-tanggung dalam menjalin kesepahaman.

Begitu murahnya ongkos mendapatkan magnet kepribadian; terus menerus berlatih mengembangkan sifat dan sikap yang positif![ez]
* Edy Zaqeus adalah seorang penulis buku bestseller, editor profesional, penerbit, trainer, dan konsultan penulisan/penerbitan.

Selasa, Desember 16, 2008

Bagaimana Mengendalikan Kemarahan? (2)

Amarah tidak mudah dihilangkan, tetapi bisa dikendalikan. Berhasil mengendalikan rasa marah berarti mengurangi potensi datangnya masalah.

(Sambungan Tulisan: Bahayanya Amarah Tak Terkendali)

Seperti diungkap dalam tulisan sebelumnya "Bahayanya Kemarahan Tak Terkendali", memang ada orang-orang yang memiliki kharakter mudah marah. Latar belakang keluarga atau persoalan-persoalan hidup sehari-hari memang bisa mengkondisikan seseorang jadi mudah marah. Bahkan ada anggapan yang mempercayai kalau tabiat lekas marah pada orang-orang tertentu memang sudah bawaan sejak lahir. Mungkin untuk kasus-kasus tertentu tabiat cepat marah harus ditangani oleh seorang psikolog atau psikiater. Ini jika rasa marah sudah menjadi semacam penyakit psikis yang kronis, pelampiasannya selalu bersifat agresif, serta mendatangkan akibat-akibat serius, baik bagi si penderita mapun orang-orang di sekitarnya.

Tetapi sesungguhnya masih banyak cara praktis yang bisa dipraktekkan secara mandiri untuk mengendalikan atau mengurangi frekuensi munculnya amarah, berikut mencegahnya menjadi sebentuk kemarahan yang sifatnya agresif. Pada prinsipnya, ada tiga cara menegendalikan tabiat marah. Pertama, melakukan langkah-langkah khusus setiap kali rasa muncul. Kedua, mengembangkan langkah-langkah khusus tersebut menjadi kebiasaan. Ketiga, mengubah paradigma atau cara pandang terhadap suatu permasalhan.

Jika kebiasaan marah-marah sudah berlangsung sangat lama, maka pengendaliannya pun perlu latihan yang terus-menerus. Itu berarti dibutuhkan usaha pengendalian yang mencakup tindakan praktis, membangun kebiasaan baru, serta mengembangkan cara pandang yang lebih positif. Sementara jika kemarahan muncul hanya karena stimulus-stimulus dari luar yang sifatnya isidental, tips berikut cukup ampuh untuk meredakan dan mengendalikan rasa marah.

1. Tarik Napas
Rasa marah bisa muncul karena sebab-sebab sepele dari luar diri kita. Tetapi, kemarahan jenis ini biasanya telah ada bibit sebelum stimulus dari luar muncul dan membuatnya meledak. Mungkin saja kondisi psikis kita sedang tertekan sehingga hal kecil pun bisa memancing kemarahan. Cara praktis pertama yang bisa dilakukan untuk mengendalikan marah seperti ini adalah dengan segera menarik napas dalam-dalam selama 1-2 menit. Kemudian, lanjutkan dengan napas yang lebih pelan dan teratur. Jika sebab kemarahan ada di depan kita, maka sebaiknya kita berpaling dan mengayun beberapa langkah menjauhinya sambil tetap mengatur pernapasan yang lembut. Jika sedang sendirian di ruangan, ada baiknya kita melangkah tujuh ke depan dan tujuh langkah ke belakang.

Hal penting yang harus dilakukan saat mengatur pernapasan maupun melangkah ke depan dan ke belakang adalah berdialog dengan diri sendiri. Cobalah bertanya dengan bijaksana kepada diri sendiri, misalnya: "Apakah aku layak marah?", "Apakah dengan marah masalah akan selesai?", "Apakah kemarahanku membuat keadaan menjadi lebih baik?", "Apakah benar kejadian ini semata karena kesalahan orang lain?", "Bukankah lebih baik memfokuskan pikiran untuk mencari jalan keluarnya?", "Apa keuntungan dan kebaikan yang saya dapat jika masalah ini bisa diselesaikan dengan baik?", dll.

Lakukan dialog dengan diri sendiri tersebut berulang-ulang sambil tetap mengatur pernapasan dengan lembut dan berirama. Jika di sekitar ada cermin, maka dialog akan lebih efektif dalam memberikan sugesti diri yang lebih positif. Jika rasa marah muncul di tengah keramaian, segera alihkan perhatian dari objek yang dianggap sebagai penyebab kemarahan. Carilah objek lain sebagai perhatian dan selanjutnya lakukan dialog diri seperti di atas.

2. Pengungkapan yang Dewasa
Sebagian ahli jiwa menyarankan supaya rasa marah diungkapkan secara langsung untuk memberikan efek pelepasan dan pemulihan. Selain itu, mengungkapkan kekesalan, kekurangsetujuan, atau rasa marah bisa menunjukkan posisi kita terhadap suatu masalah. Hasilnya, orang lain pun memahami sebab-sebab kemarahan kita dan jika hal tersebut memang beralasan, tindakan tersebut bisa mencegah kejadian yang sama berulang. Namun, mengungkapkan perasaan-perasaan tersebut tanpa membuat pihak lain sakit hati atau terancam sungguh bukan hal yang mudah.

Para pemarah sejati biasanya kurang berhasil melakukan pengungkapan amarah dengan kata-kata yang bisa dikendalikan dengan sangat ketat. Sungguh, mengungkapkan kemarahan dengan cara ini perlu kekuatan self-control yang luar biasa. Maka sebelum memutuskan utnuk mengungkapkan kemarahan secara langsung, perlu ada jeda perenungan sejenak sambil menggunakan teknik pernafasan untuk memperantarai pilihan tersebut. Jika berhasil di tahap pengendalian pertama dengan teknik pernafasan, biasanya hasrat mengungkapkan kemarahan tidak akan berlanjut. Setidaknya, penundaan sejenak tersebut memberi kita peluang untuk mencari solusi dan cara pengungkapan kemarahan dengan lebih bijaksana.

3. Pelampiasan Bertanggungjawab
Adakalanya kemarahan tidak langsung bisa diatasi dalam sekejap dan akhirnya terbawa-bawa sampai beberapa waktu lamanya. Apalagi kalau penyebab kemarahan memang hal yang sangat penting sehingga membuat pikiran berkecamuk dan dilanda stres. Dalam kasus seperti ini, menekan rasa marah atau aktivitas menenangkan diri terkadang tidak cukup. Bagi sebagian orang yang tabiat marahnya sangat kental, perlu pengalihan atau pelampiasan kemarahan yang sifatnya bertanggungjawab dan terkendali. Artinya, pelampiasan non-agresif yang tidak menimbulkan ancaman, kerugian, atau akibat yang lebih buruk lagi.

Apa saja bentuk pelampiasan tersebut? Coba lakukan aktivitas fisik yang menyegarkan badan dan pikiran, seperti push-up, bela diri, angkat beban, jogging, atau memukul sansak. Pelampiasan dengan memukul sansak misalnya, dianggap sebagai pelampiasan rasa marah yang paling efektif, terutama untuk melampiaskan kemarahan yang benar-benar memuncak. Memukul sansak dengan sekuat tenaga sambil berteriak membuat rasa marah tersalur dengan baik. Jika memukul sansak yang biasa dilakukan dengan memfokuskan kebencian kita kepada si penyebab kemarahan, tetapi dalam pelampiasan yang lebih positif pemukulan sansak dilakukan dengan teriakan sugestif kepada diri sendiri. Misalnya, "Aku bisa...mengatasi masalah ini..!", "Aku hebat..pasti bisa..atasi semua!", "Aku kuat...tidak boleh jatuh..!", dll. Teriakan sugestif ini juga bisa dilakukan untuk aktivitas lainnya.

4. Diskusi Empatik
Ada kalanya rasa marah muncul karena kesalahpahaman atau karena kita tidak bisa memandang persoalan dengan jernih. Kita selalu menganggap pkiran dan keyakinan kita yang paling benar. Akibatnya, dalam memandang sesuatu sering kurang obyektif sehingga persoalan yang memancing kemarahan muncul. Cara efektif untuk mengendalikan kemarahan jenis ini adalah dengan melakukan dialog atau diskusi dengan orang lain yang dipandang bisa lebih obyektif dalam melihat permasalahannya. Kita juga bisa mendiskusikan apakah respon kemarahan kita adalah hal yang tepat, menyelesaikan masalah, atau malah membuat situasinya menjadi lebih buruk. Rekan diskusi yang obyektif biasanya bisa mengarahkan kita pada pembicaraan yang empatik atau memandang persoalan dari sudut orang lain (si penyebab marah).

Diskusi empatik dengan orang yang tepat dan dilakukan secara terarah sangat membantu kita mengatasi rasa marah. Ini hampir sama dengan melakukan konseling, walau sifatnya lebih akrab dan informal. Diskusi semacam ini juga isa menjadi cara pelepasan kekesalan atau uneg-uneg, asal diungkapkan dengan cara yang tidak menimbulkan problem baru. Diskusi akan lebih efektif jika pihak yang sedang marah mau mengambil sikap lebih aktif mendengarkan dan berempati. Misalnya, dengan mengambil posisi sebagai si penyebab kemarahan. Selain meredam kemarahan, diskusi seperti ini juga bisa menambah wawasan, memperbaiki perspektif, dan melatih ketrampilan berkomunikasi.

5. Kebiasaan Berpikir
Supaya usaha meredam sifat lekas marah lebih efektif, maka cara-cara di atas harus dilatih terus-menerus sehingga membentuk kebiasaan penanganan amarah secara sehat. Pada saat yang sama, paradigma dalam memandang persoalan harus diubah. Di sinilah letak pentingnya kebiasaan berpikir secara positif. Cara berpikir positif akan mendorong kita menanggapi persoalan-persoalan secara positif pula. Artinya, lebih condong kepada solusi daripada persoalan itu sendiri. Lebih fokus pada kelebihan daripada kekurangan.

Banyak orang berusaha menghilangkan sifat pemarahnya tanpa diikuti perubahan paradigma. Usaha setengah-setengah seperti ini jarang berhasil. Mengapa? Karena rasa marah adalah aktivitas yang didominasi oleh emosi. Sementara, emosi hanya bisa dikendalikan oleh kematangan cara kita berpikir. Jika paradigma atau cara berpikirnya belum diperbaiki, emosi tetap sulit terkendali. Akibatnya, amarah bisa muncul kapan saja dan akal sehat sulit digunakan untuk mengendalikannya.(ez)

* Edy Zaqeus adalah seorang penulis buku bestseller, editor profesional, penerbit, trainer, dan konsultan penulisan/penerbitan.

Rabu, Desember 10, 2008

Bahayanya Amarah Tak Terkedali (1)

Oleh: Edy Zaqeus*

Marah adalah ekspresi emosi yang wajar. Tetapi jika tidak terkendali, masalah baru bermunculan. Kenali penyebabnya supaya mudah dikendalikan.
(Bagian pertama dari dua tulisan)

Sisca adalah gadis yang cantik, baik, terpelajar, dan bekerja secara profesional di kantornya. Sebenarnya, ia memiliki pribadi yang menyenangkan karena suka membantu teman-temannya sekantor. Tetapi ada satu kelemahan yang membuat kebaikannya tenggelam di mata teman-temannya. Sisca mudah sekali marah tanpa sebab-sebab yang jelas, setidak-tidaknya itu menurut teman-temannya. Ia sendiri sering tidak tahu mengapa emosinya cepat naik hanya karena persoalan-persoalan sepele. Inilah contoh-contohnya.

Suatu hari Festie, teman sekantor Sisca meminjam CD dan dengan senang hati ia meminjamkannya. “Jangan lupa, lusa balikin ya, karena aku mau pake,” pesan Sisca. “Beres, friend..” jawab Festie. Namun, pada hari seharusnya CD itu dikembalikan, Festie ternyata tidak masuk kantor karena ada keperluan keluarga yang sangat mendesak.

Bencana pun terjadi. Amarah Sisca meledak tak tertahankan. Ia tak habis pikir dengan kelakuan Festie, yang menurutnya tidak menghormati kebutuhan orang lain. “Seharusnya kan dia bilang kalau mau absen, biar aku ambil ke rumahnya. Atau dititipkan siapa, kek...” ucap Sisca gusar sekali. Seisi kantor pun kontan jadi lengang jika Sisca sedang marah. “Sudah dipinjami malah menyusahkan orang lain. Dasar perempuan tidak tahu diri!” umpat Sisca tak bisa mengendalikan rasa marahnya.

Kali lain, kemarahan Sisca kembali meledak untuk sebab yang sebenarnya biasa-biasa saja. Hari itu, Andrie atasan Sisca yang selalu berpenampilan rapi melihat seorang pria berpenampilan macho di ruang tunggu depan kantor. Pria itu memang tampak macho dengan jaket kulit penuh tempelan aksesoris, rambut agak awut-awutan, dan gelang-gelang metal bergemerincing saat ia bergerak. Sambil berlalu, Andrie berseloroh kepada Sisca, “Itu preman di sini cari siapa...?”

Langsung saja muka Sisca memerah dan hatinya dongkol sekali. Begitu bosnya masuk ke ruang kerjanya, Sisca langsung ngomel habis di depan teman-temannya. “Gila bener nih orang...! Masak pacar gue dibilang preman?!” Sisca tersinggung berat. Hasilnya, hari itu Sisca mogok total tidak mau mengerjakan satu pun tugas dari Andrie. Bahkan sebulan lebih sejak itu ia enggan menegur Andrie lebih dulu. “Mau protes, silakan saja...” ujar Sisca enteng. Seisi kantor mau tidak mau harus memaklumi sifat Sisca itu.

Sebab Marah
Secara garis besar, rasa marah bisa disebabkan oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal antara lain menyangkut self control seseorang, pola pandang yang dianutnya, serta kebiasan-kebiasaan yang ditumbuhkannya dalam merespon suatu permasalahan. Ada pula teori yang menyatakan, ada orang-orang tertentu yang dilahirkan dengan membawa tendensi mudah atau lekas marah. Sementara sebab eksternal antara lain adalah situasi-situasi di luar diri seseorang yang memancing respon emosional, latar belakang keluarga, serta juga budaya dan lingkungan sekitar.

Tak dimungkiri, cara keluarga mendidik anak mempunyai pengaruh hingga anak itu dewasa. Begitu juga kondisi keluarga. Sejumlah penelitian membuktikan, keluarga tidak harmonis atau sering dilanda konflik cenderung membuat anggota-anggotanya bersifat mudah marah. Sementara latar budaya dan lingkungan sekitar juga berpengaruh besar. Ada budaya atau lingkungan tertentu yang menganggap kemarahan harus diekspresikan dengan jelas untuk menunjukkan ketegasan dan integritas. Kharakter budaya dan lingkungan seperti ini dapat membentuk seseorang yang menganggap melampiaskan marah itu biasa. Padahal, di lingkungan dan budaya lain, kharakter demikian bisa-bisa mendatangkan masalah.

Dalam keseharian, rasa marah bisa dikenali melalui sejumlah sebab-sebab berikut. Pertama, biasanya amarah muncul bila apa yang kita inginkan tidak terwujud sebagaimana seharusnya. Contoh; sebagai pembeli kita pasti ingin diperlakukan dengan sopan dan penuh perhatian. Ibaratnya kita ini adalah “raja” yang harus dilayani. Tetapi jika karyawan toko melayani dengan muka masam atau memberi servis yang tidak sesempurna yang kita harapkan, maka rasa dongkol, jengkel, dan marah pasti mudah muncul.

Kedua, amarah muncul jika ada pihak lain yang secara sengaja atau tidak mengeluarkan ucapan atau menunjukkan perilaku yang menyinggung perasaan kita. Contohnya jelas terlihat dalam ilustrasi di atas yang menggambarkan kemarahan Sisca kepada Andrei atasannya, semata hanya karena komentar sambil lalu.

Ketiga, amarah muncul karena kekurangmampuan kita dalam memenuhi tuntutan yang kita tetapkan sendiri atas diri kita. Contoh; kita mendapat tugas menyelesaikan pekerjaan dalam waktu secepat-cepatnya. Kemudian, kita berjanji pada diri sendiri bahwa kita harus dan pasti mampu menyelesaikannya sesuai jadwal. Kenyataannya, karena lengah atau sebab tertentu, pekerjaan tersebut tidak selesai pada waktunya. Akibatnya, kita marah pada diri sendiri karena kelalaian tersebut. Dan kemarahan pada diri sendiri seperti ini bisa saja merembet ke orang lain yang tidak tahu-menahu dengan duduk persoalannya.

Bahaya Marah
Melampiaskan rasa marah adalah sesuatu yang wajar. Bahkan marah yang diekspresikan secara semestinya dianggap sehat dan malah dianjurkan. Sebab, setelah melampiaskan marah biasanya orang merasa lega dan lebih tenang. Sebaliknya, rasa marah yang terus-menerus dipendam dan ditekan malah sama bahayanya dengan marah yang tidak terkendali. Sekalipun rasa marah yang bisa diekspresikan secara sehat dan wajar, tetapi jika terlalu sering muncul dampaknya tetap negatif. Rasa marah yang sering muncul sama saja dengan amarah yang tak terkendali, dan hal ini akan sangat mengganggu efektifitas kinerja dan relasi sosial kita. Apa saja bahayanya rasa marah yang tak terkendali?

Pertama, rasa marah menyebabkan konsentrasi kita terpecah-pecah dan keadaan ini sangat mengganggu pekerjaan kita. Pekerjaan-pekerjaan yang membutuhkan konsentrasi tinggi justru sangat berbahaya bila dilakukan dengan perasaan penuh kemarahan. Jika pekerjaan terganggu, hampir pasti kehidupan kita juga ikut terganggu, dan akhirnya karir kita pun terancam.

Kedua, rasa marah biasanya memperkeruh hubungan kita dengan pasangan, keluarga, sahabat, teman, rekan kerja, dll. Pada lingkungan tertentu yang bahkan bisa memaklumi ekspresi kemarahan seseorang, tetap saja pembawaan lekas marah cenderung merusak situasi dan pola komunikasi yang berlangsung di dalamnya. Orang bisa memaklumi kemarahan orang lain, tetapi sejatinya dia tetap saja tidak pernah mau menerima marah secara cuma-cuma. Daripada mencari masalah dengan seorang pemarah, kebanyakan orang cenderung enggan berkomunikasi dengannya atau malah menjauhkan diri darinya. Dalam hubungan sosial, keadaan ini jelas tidak sehat dan tidak menguntungkan bagi si pemarah.

Ketiga, dalam banyak kasus, kemarahan sering ditanggapi dengan rasa dendam. Karena dendam sering tidak tampak secara jelas, akibat-akibat negatifnya pun kadang baru dirasakan atau disadari jauh hari setelah sebab dendam itu muncul. Tak heran jika seorang pemarah kadang mendapati dirinya diperlakukan tidak adil tanpa dirinya merasa berbuat salah sebelumnya. Bisa jadi perlakuan tidak adil yang baru saja dialaminya itu merupakan ekspresi dendam seseorang akibat pelampiasan marahnya di waktu-waktu sebelumnya.

Maka jelaslah, sifat pemarah memang tidak menguntungkan. Mungkin sifat itu sudah berurat-berakar dan sulit sekali dihilangkan. Walau begitu, tetap ada cara-cara untuk mengendalikan amarah. Ada cara-cara untuk mempersulit keluarnya rasa marah supaya tidak muncul pada waktu-waktu yang tidak menguntungkan. Artikel berikutnya akan membahas kiat-kiat mempersulit munculnya rasa marah (bersambung).[ez]
* Edy Zaqeus adalah seorang penulis buku bestseller, editor profesional, penerbit, trainer, dan konsultan penulisan/penerbitan.