Selasa, Desember 16, 2008

Bagaimana Mengendalikan Kemarahan? (2)

Amarah tidak mudah dihilangkan, tetapi bisa dikendalikan. Berhasil mengendalikan rasa marah berarti mengurangi potensi datangnya masalah.

(Sambungan Tulisan: Bahayanya Amarah Tak Terkendali)

Seperti diungkap dalam tulisan sebelumnya "Bahayanya Kemarahan Tak Terkendali", memang ada orang-orang yang memiliki kharakter mudah marah. Latar belakang keluarga atau persoalan-persoalan hidup sehari-hari memang bisa mengkondisikan seseorang jadi mudah marah. Bahkan ada anggapan yang mempercayai kalau tabiat lekas marah pada orang-orang tertentu memang sudah bawaan sejak lahir. Mungkin untuk kasus-kasus tertentu tabiat cepat marah harus ditangani oleh seorang psikolog atau psikiater. Ini jika rasa marah sudah menjadi semacam penyakit psikis yang kronis, pelampiasannya selalu bersifat agresif, serta mendatangkan akibat-akibat serius, baik bagi si penderita mapun orang-orang di sekitarnya.

Tetapi sesungguhnya masih banyak cara praktis yang bisa dipraktekkan secara mandiri untuk mengendalikan atau mengurangi frekuensi munculnya amarah, berikut mencegahnya menjadi sebentuk kemarahan yang sifatnya agresif. Pada prinsipnya, ada tiga cara menegendalikan tabiat marah. Pertama, melakukan langkah-langkah khusus setiap kali rasa muncul. Kedua, mengembangkan langkah-langkah khusus tersebut menjadi kebiasaan. Ketiga, mengubah paradigma atau cara pandang terhadap suatu permasalhan.

Jika kebiasaan marah-marah sudah berlangsung sangat lama, maka pengendaliannya pun perlu latihan yang terus-menerus. Itu berarti dibutuhkan usaha pengendalian yang mencakup tindakan praktis, membangun kebiasaan baru, serta mengembangkan cara pandang yang lebih positif. Sementara jika kemarahan muncul hanya karena stimulus-stimulus dari luar yang sifatnya isidental, tips berikut cukup ampuh untuk meredakan dan mengendalikan rasa marah.

1. Tarik Napas
Rasa marah bisa muncul karena sebab-sebab sepele dari luar diri kita. Tetapi, kemarahan jenis ini biasanya telah ada bibit sebelum stimulus dari luar muncul dan membuatnya meledak. Mungkin saja kondisi psikis kita sedang tertekan sehingga hal kecil pun bisa memancing kemarahan. Cara praktis pertama yang bisa dilakukan untuk mengendalikan marah seperti ini adalah dengan segera menarik napas dalam-dalam selama 1-2 menit. Kemudian, lanjutkan dengan napas yang lebih pelan dan teratur. Jika sebab kemarahan ada di depan kita, maka sebaiknya kita berpaling dan mengayun beberapa langkah menjauhinya sambil tetap mengatur pernapasan yang lembut. Jika sedang sendirian di ruangan, ada baiknya kita melangkah tujuh ke depan dan tujuh langkah ke belakang.

Hal penting yang harus dilakukan saat mengatur pernapasan maupun melangkah ke depan dan ke belakang adalah berdialog dengan diri sendiri. Cobalah bertanya dengan bijaksana kepada diri sendiri, misalnya: "Apakah aku layak marah?", "Apakah dengan marah masalah akan selesai?", "Apakah kemarahanku membuat keadaan menjadi lebih baik?", "Apakah benar kejadian ini semata karena kesalahan orang lain?", "Bukankah lebih baik memfokuskan pikiran untuk mencari jalan keluarnya?", "Apa keuntungan dan kebaikan yang saya dapat jika masalah ini bisa diselesaikan dengan baik?", dll.

Lakukan dialog dengan diri sendiri tersebut berulang-ulang sambil tetap mengatur pernapasan dengan lembut dan berirama. Jika di sekitar ada cermin, maka dialog akan lebih efektif dalam memberikan sugesti diri yang lebih positif. Jika rasa marah muncul di tengah keramaian, segera alihkan perhatian dari objek yang dianggap sebagai penyebab kemarahan. Carilah objek lain sebagai perhatian dan selanjutnya lakukan dialog diri seperti di atas.

2. Pengungkapan yang Dewasa
Sebagian ahli jiwa menyarankan supaya rasa marah diungkapkan secara langsung untuk memberikan efek pelepasan dan pemulihan. Selain itu, mengungkapkan kekesalan, kekurangsetujuan, atau rasa marah bisa menunjukkan posisi kita terhadap suatu masalah. Hasilnya, orang lain pun memahami sebab-sebab kemarahan kita dan jika hal tersebut memang beralasan, tindakan tersebut bisa mencegah kejadian yang sama berulang. Namun, mengungkapkan perasaan-perasaan tersebut tanpa membuat pihak lain sakit hati atau terancam sungguh bukan hal yang mudah.

Para pemarah sejati biasanya kurang berhasil melakukan pengungkapan amarah dengan kata-kata yang bisa dikendalikan dengan sangat ketat. Sungguh, mengungkapkan kemarahan dengan cara ini perlu kekuatan self-control yang luar biasa. Maka sebelum memutuskan utnuk mengungkapkan kemarahan secara langsung, perlu ada jeda perenungan sejenak sambil menggunakan teknik pernafasan untuk memperantarai pilihan tersebut. Jika berhasil di tahap pengendalian pertama dengan teknik pernafasan, biasanya hasrat mengungkapkan kemarahan tidak akan berlanjut. Setidaknya, penundaan sejenak tersebut memberi kita peluang untuk mencari solusi dan cara pengungkapan kemarahan dengan lebih bijaksana.

3. Pelampiasan Bertanggungjawab
Adakalanya kemarahan tidak langsung bisa diatasi dalam sekejap dan akhirnya terbawa-bawa sampai beberapa waktu lamanya. Apalagi kalau penyebab kemarahan memang hal yang sangat penting sehingga membuat pikiran berkecamuk dan dilanda stres. Dalam kasus seperti ini, menekan rasa marah atau aktivitas menenangkan diri terkadang tidak cukup. Bagi sebagian orang yang tabiat marahnya sangat kental, perlu pengalihan atau pelampiasan kemarahan yang sifatnya bertanggungjawab dan terkendali. Artinya, pelampiasan non-agresif yang tidak menimbulkan ancaman, kerugian, atau akibat yang lebih buruk lagi.

Apa saja bentuk pelampiasan tersebut? Coba lakukan aktivitas fisik yang menyegarkan badan dan pikiran, seperti push-up, bela diri, angkat beban, jogging, atau memukul sansak. Pelampiasan dengan memukul sansak misalnya, dianggap sebagai pelampiasan rasa marah yang paling efektif, terutama untuk melampiaskan kemarahan yang benar-benar memuncak. Memukul sansak dengan sekuat tenaga sambil berteriak membuat rasa marah tersalur dengan baik. Jika memukul sansak yang biasa dilakukan dengan memfokuskan kebencian kita kepada si penyebab kemarahan, tetapi dalam pelampiasan yang lebih positif pemukulan sansak dilakukan dengan teriakan sugestif kepada diri sendiri. Misalnya, "Aku bisa...mengatasi masalah ini..!", "Aku hebat..pasti bisa..atasi semua!", "Aku kuat...tidak boleh jatuh..!", dll. Teriakan sugestif ini juga bisa dilakukan untuk aktivitas lainnya.

4. Diskusi Empatik
Ada kalanya rasa marah muncul karena kesalahpahaman atau karena kita tidak bisa memandang persoalan dengan jernih. Kita selalu menganggap pkiran dan keyakinan kita yang paling benar. Akibatnya, dalam memandang sesuatu sering kurang obyektif sehingga persoalan yang memancing kemarahan muncul. Cara efektif untuk mengendalikan kemarahan jenis ini adalah dengan melakukan dialog atau diskusi dengan orang lain yang dipandang bisa lebih obyektif dalam melihat permasalahannya. Kita juga bisa mendiskusikan apakah respon kemarahan kita adalah hal yang tepat, menyelesaikan masalah, atau malah membuat situasinya menjadi lebih buruk. Rekan diskusi yang obyektif biasanya bisa mengarahkan kita pada pembicaraan yang empatik atau memandang persoalan dari sudut orang lain (si penyebab marah).

Diskusi empatik dengan orang yang tepat dan dilakukan secara terarah sangat membantu kita mengatasi rasa marah. Ini hampir sama dengan melakukan konseling, walau sifatnya lebih akrab dan informal. Diskusi semacam ini juga isa menjadi cara pelepasan kekesalan atau uneg-uneg, asal diungkapkan dengan cara yang tidak menimbulkan problem baru. Diskusi akan lebih efektif jika pihak yang sedang marah mau mengambil sikap lebih aktif mendengarkan dan berempati. Misalnya, dengan mengambil posisi sebagai si penyebab kemarahan. Selain meredam kemarahan, diskusi seperti ini juga bisa menambah wawasan, memperbaiki perspektif, dan melatih ketrampilan berkomunikasi.

5. Kebiasaan Berpikir
Supaya usaha meredam sifat lekas marah lebih efektif, maka cara-cara di atas harus dilatih terus-menerus sehingga membentuk kebiasaan penanganan amarah secara sehat. Pada saat yang sama, paradigma dalam memandang persoalan harus diubah. Di sinilah letak pentingnya kebiasaan berpikir secara positif. Cara berpikir positif akan mendorong kita menanggapi persoalan-persoalan secara positif pula. Artinya, lebih condong kepada solusi daripada persoalan itu sendiri. Lebih fokus pada kelebihan daripada kekurangan.

Banyak orang berusaha menghilangkan sifat pemarahnya tanpa diikuti perubahan paradigma. Usaha setengah-setengah seperti ini jarang berhasil. Mengapa? Karena rasa marah adalah aktivitas yang didominasi oleh emosi. Sementara, emosi hanya bisa dikendalikan oleh kematangan cara kita berpikir. Jika paradigma atau cara berpikirnya belum diperbaiki, emosi tetap sulit terkendali. Akibatnya, amarah bisa muncul kapan saja dan akal sehat sulit digunakan untuk mengendalikannya.(ez)

* Edy Zaqeus adalah seorang penulis buku bestseller, editor profesional, penerbit, trainer, dan konsultan penulisan/penerbitan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar